A.
Awal Berdirinya
Kerajaan Gowa Tallo
Sebelum Kerajaan
Gowa berdiri yang
diperkirakan terjadi pada
abad XIV, daerah
ini sudah dikenal
dengan nama Makassar
dan masyarakatnya disebut
dengan suku Makassar.
Menjelang terbentuknya Kerajaan
Gowam komunitas Makassar
terdirir atas Sembilan
Kerajaan Kecil yang
disebut Kasuwiyang Salapang
(Sembilan Negeri yang
Memerintah), yaitu :
(1) Tolombo’, (2)
Lakiung, (3) Saumata,
(4) Parang-parang, (5)
Data’, (6) Agang
Je’ne, (7) Bisei,
(8) Kalling, dan
(9) Sero’
Melalui berbagai
cara, baik damai
maupun paksaan, komunitas
lannya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa.
Cerita dari pendahulu
di Gowa dimulai
oleh Tumanurung sebagai
pendiri Istana Gowa,
tetapi tradisi Makassar
lain menyebutkan empat
orang yang mendahului
datangnya Tumanurung, dua
orang pertama adalah
Batara Guru dan
saudaranya.
1.
Masa Sebelum
Tumanurung
Sebelum zaman
Tumanurung, ada empat
raja yang pernah
mengendalikan Pemerintahan Gowa
yakni : Batara
Guru, saudara Batara
Guru yang dibunuh
oleh Tatali (tak
diketahui nama aslinya),
Ratu Sapu atau
Marancai dan Karaeng
Katangka (Nama aslinya
tidak diketahui).
Keempat raja
tersebut tak diketahui
asal-usulnya serta masa
pemerintahannya. Tapi mungkin
pada masa itu,
Gowa purba terdiri
dari 9 kasuwiang
(kasuwiyang salapang) mungkin
pula lebih yang
dikepalai seorang penguasa
sebagai raja kecil.
Setelah pemerintahan Karaeng
katangka, maka Sembilan
kerajaan kecil. Setelah
pemerintahan Karaeng katangka,
maka Sembilan kerajaan
kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang
diketuai oleh Paccalaya.
2.
Masa Tumanurung
Berdasarkan hasil penelitian sejarah, baik melalui lontarak maupun cerita
yang berkembang di masyarakat, dapat diketahui bahwa munculnya nama Gowa
dimulai pada tahun 1320, yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa pertama bernama
Tumanurung.
Konon, sebelum
Tumanurunga hadir di Butta Gowa, ada sembilan negeri kecil yang kini lebih
dikenal dengan istilah Kasuwiang Salapanga yakni : Kasuwiang Tombolo, Lakiung,
Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Kesembilan
negeri tersebut mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan atau pemerintahan
federasi dibawa pengawasan Paccallaya (Ketua Dewan Pemisah).
Walaupun mereka bersatu, tetapi
ke sembilan negeri tersebut sering dilanda perang saudara antara Gowa di bagian
utara dan Gowa di bagian selatan. Paccallaya sebagai ketua federasi tak sanggup
mengatasi peperangan tersebut. Hal tersebut karena Paccallaya hanya berfungsi
sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat terhadap anggota persekutuan
yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk mengatasi perang saudara
tersebut, diperlukan seorang pemimpin yang kharismatik dan dapat diterima oleh
kesembilan kelompok tersebut. Terdengarlah berita orang Paccallaya, bahwa ada
seorang putri yang turun di atas bukit Tamalate tepatnya di Taka’bassia. Saat
penantian, orang-orang yang berada di Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya
dari utara bergerak perlahan-lahan turun menuju Taka’bassia.
Kejadian itu cepat diketahui oleh
Gallarang Mangasa dan bolo yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi
pemersatu kaum yang berseteru itu. Paccalaya bersama ke
sembilan kasuwiang bergegas ke Taka’bassia. Di sana mereka duduk mengelilingi
cahaya sambil bertafakur. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi seorang putri
yang cantik jelita disertai pakaian kebesarannya antara lain berupa mahkota.
Baik Paccalaya maupun Kasuwiang
tak mengetahui nama putri tersebut, sehingga mereka sepakat memberi nama
Tumanurung Bainea atau Tumanurung, artinya orang (wanita) yang tidak diketahui
asal usulnya. Karena putri ratu tersebut memiliki keajaiban,
Paccalaya dan Kasuwiang Salapang sepakat untuk mengangkat Tumanurung sebagai
rajanya. Paccalaya kemudian mendekati Tumanurunga seraya bersembah “Sombangku!”
(Tuanku), kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya sombangku sudi
menetap di negeri kami dan menjadi raja di negeri kami. Permohonan Paccalaya
tersebut dikabulkan, dan berseru “Sombai Karaengnu tu Gowa (Sombalah rajamu hai
orang Gowa). Baik Kasuwiang maupun warga yang ada di sekitar itu berseru
“Sombangku”.
Setelah Tumanurunga resmi menjadi
Raja Gowa pertama pada tahun 1320 negeri Gowa kembali menjadi aman. Masa
pemerintahan Tumanurunga berlangsung sejak tahun 1320-1345. Diriwayatkan,
Tumanurunga kemudian kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang
tidak diketahui asal usulnya. Hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama
temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga
Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370).
Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan
Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian terhadap
dua orang putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa
melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi (1)
Paccelekang, (2) Patalassang, (3) Bontomanai Ilau, (4) Bontomanai Iraya, (5)
Tombolo, dan (6) Mangasa. Adiknya, Karaeng Loe ri Sero,
mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Tallo dengan wilayah sebagai
berikut: (1) Saumata,(2) Pannampu, (3) Moncong Loe, dan (4) Parang Loe.
Beberapa kurun waktu, kedua
kerajaan itu terlibat pertikaian dan baru berakhir pada masa pemerintahan Raja
Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Setelah melalui perang, beliau berhasil
menaklukkan pemerintahan raja Tallo III I Mangayaoang Berang Karaeng
Tunipasuru. Sejak itu, terbentuklah koalisi antara Kerajaan Gowa dan Tallo,
dengan ditetapkannya bahwa Raja Tallo menjadi Karaeng Tumabbicara butta atau
Mangkubumi (Perdana menteri) Kerajaan Gowa. Begitu eratnya hubungan kedua
kerajaan ini sebagai kerajaan kembar, sehingga lahir pameo di kalangan rakyat
Gowa dan Tallo dalam peribahasa “Dua Raja tapi hanya satu rakyat (Ruwa Karaeng
Se’re Ata). Kesepakatan ini diperkuat oleh sebuah perjanjian yang dibuat dua
kerajaan ini ,”iami anjo nasitalli’mo karaenga ri Gowa siagang karaenga ri
Tallo, gallaranga iangaseng ribaruga nikelua. Ia iannamo tau ampasiewai Goa-Tallo,
iamo macalla rewata”.
Di Sulawesi Selatan pada abad 16
terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing
kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing.
Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun
1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan
Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang
masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis daerah Sulawesi
Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran
(perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makassar menjadi pusat persinggahan
para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal
dari Indonesia bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan
Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan
Nusantara.
B.
Tokoh – tokoh Kerajaan Gowa Tallo
1.
Sultan Alauddin
Sultan
Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri Agamanna. Ia
merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama islam yang memerintah
dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) bergelar
Sultan Abdullah.
2.
Sultan Hasanuddin
Sultan
Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di
Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa
ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi
Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama
Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla
Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belandayang artinya
Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.
C.
Kegiatan Ekonomi
Kerajaan
Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak
yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang
yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak
disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan
sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran
dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan
ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut,
maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang
pesat. Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena
Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi
Selatan.
D.
Kehidupan Sosial
Budaya
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar
masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk
meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau
untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Sejak
Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan
dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni
Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada
masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa Tallo agama Islam mulai masuk
ke kerajaan ini. Setahun kemudian hampir seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk
Islam. Mubaligh yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib
Tunggal yang berasal dari Minangkabau.
Raja
Gowa Tallo sangat besar perannya dalam menyebarkan Islam, sehingga bukan rakyat
saja yang memeluk Islam tapi kerajaan-kerajaan disekitarnya juga menerima
Islam, seperti Luwu, Wajo, Soppeg, dan Bone. Wajo menerima Islam tahun 1610 M.
Raja Bone pertama yang menerima Islam bergelar Sultan Adam. Walaupun masyarakat
Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan
hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat
yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur
berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat
Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di
samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang
terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya
disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan
golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar
banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran.
Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang
Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan
kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara
E.
Kehidupan Politik
Penyebaran
Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh
Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17
agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun
memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah
Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang
sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja
Muhammad Said (1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan
Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta
daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil
menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut
sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur
perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal
sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia
menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di
Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur)
dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka
timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan
terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk
memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda
semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk
mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba
antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu
Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC
untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar.
Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan
menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan
kerajaan Makasar.
Isi
dari perjanjian Bongaya antara lain:
a) VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b) Belanda
dapat mendirikan benteng di Makasar.
c) Makasar
harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar
Makasar.
d) Aru
Palaka diakui sebagai raja Bone
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra
Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
F.
Islamisasi Kerajaan
Gowa Tallo
Penerimaan
Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda.
Pertama, Islam diterima oleh masyarakat bawah, kemudiaan berkembang dan
diterima oleh masyarakat lapisan atas disebut bottom up. Kedua, Islam diterima
langsung oleh elite penguasa kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang
pada lapisan masyarakat bawah disebut top down. Penerimaan Islam di Gowa
menurut penulis sejarah Islam, memperlihatkan pola yang kedua.
Kerajaan
yang mula-mula memeluk Islam dengan resmi di Sulawesi Selatan adalah kerajaan
kembar Gowa-Tallo. Tanggal peresmian Islam itu menurut lontara Gowa dan Tallo
adalah malam Jum’at, 22 September 1605, atau 9 Jumadil Awal 1014 H. Dinyatakan
bahwa Mangkubumi kerajaan Gowa / Raja Tallo I Mallingkaeng Daeng Manyonri
mula-mula menerima dan mengucapkan kalimat Syahadat (Ia di beri gelar Sultan
Abdullah Awwalul Islam) dan sesudah itu barulah raja Gowa ke-14 Mangenrangi
Daeng Manrabia (Sultan Alauddin). Dua tahun kemudian seluruh rakyat Gowa-Tallo
memeluk agama Islam berdasar atas prinsip cocius region eius religio, dengan
diadakannya shalat Jumat pertama di masjid Tallo tanggal 9 November 1607 / 19
Rajab 1016 H.
Adapun
yang mengislamkan kedua raja tersebut ialah Datu ri Tiro (Abdul Makmur Chatib
Bungsu) seorang ulama datang dari Minangkabau (Sumatera) ke Sulawesi Selatan
bersama dua orang temannya yakni Datu Patimang (Chatib Sulaeman) yang
mengislamkan pula Raja Luwu La Pataware Daeng Parabung dan Datu ri Tiro (Chatib
Bungsu) yang menyebar Agama Islam di Tiro dan sekitarnya.
Sekitar
enam tahun kemudian, kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan pun menerima Islam.
Penyebarannya di dukung oleh Kerajaan Gowa sebagai pusat kekuatan pengislaman.
Kerajaan bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng, berhubung karena
menolak, akhirnya Raja Gowa melakukan perang, karena juga dianggap menentang
kekuasaan Raja Gowa. Setelah takluk, penyebaran Islam dapat dilakukan dengan
mudah di Kerajaan Bugis.
G.
Zaman Keemasan
Setelah
Kerajaan Gowa menerima Islam, semakin menapak puncak kejayaannya. Pada masa
pemerintahan Raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng
Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas
dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan
kawasan Timur Indonesia.
Kemashuran
Sultan Malikulsaid sampai ke Eropa dan Asia, terutama karena pada masa
pemerintahannya, dia ditunjang oleh jasa-jasa Karaeng Pattingalloang sebagai
Mangkubuminya yang terkenal itu, baik dari segi sosok kecendiakawanannya maupun
keahliannya dalam berdiplomasi. Tidak heran, Gowa ketika itu telah mampu
menjalin hubungan internasional yang akrab dengan raja-raja dan pembesar dari
negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis,
Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spayol dan Marchente di Mesoliputan
(India), Mufti Besar Arabia dan terlebih lagi dengan kerajaan-kerajaan di
sekitar Nusantara.
Kerjasama
dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropa sejak Somba Opu menjadi Bandar Niaga
Internasional. Bangsa Eropa gemar dengan rempah-rempah telah menjalin hubungan
dagang dengan Gowa, seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab, dan
Melayu. Mereka telah mendirikan kantor perwakilan dagang di Somba Opu. Dari
tahun ke tahun hubungan Kerajaan Gowa dengan bangsa Eropa tidak mengalami
ronrongan. Barulah terganggu setelah kehadiran orang-orang Belanda yang ingin
memonopoli perdagangan dan menjajah.
Tanggal
5 November 1653 Sultan Malikulsaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan
Gowa selama 16 tahun. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang
Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1653-1669). Dimasa Hasanuddin
inilah ketegangan Gowa dengan Belanda kian meruncing. Hal tersebut karena sikap
beliau sangat tegas dan tak mau tunduk pada Belanda. Tahun 1654-1655 terjadi
pertempuran hebat antara Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. April 1655
armada Gowa yang langsung dipimpin Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil
mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah
Belanda melihat kenyataan peperangan di Kawasan Timur Nusantara banyak
menimbulkan kerugian menghadapi Gowa. Belanda dengan berbagai siasat menawarkan
perdamaian. Tahun 1655 Belanda mengutus Willem Vanderbeck bersama Choja
Sulaeman menghadap Sultan membawa pesan damai dari Gubernur jenderal Joan Maectsuyker
tetapi tidak berhasil. Tanggal 17 Agustus 1655 tercapai perjanjian perdamaian
26 pasal sebagai hasil perundingan antara utusan Gowa yang diwakili Karaeng
Popo dengan Gubernur Jenderal Belanda yang diwakili Dewan Hindia, Van Oudshoon.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Panglima perang Belanda Mayor Van Dam di
Batavia.
Perjanjian
itu kemudian oleh Sultan dianggap sangat merugikan Gowa, terutama atas pasal
larangan orang-orang Makassar berdagang di Banda dan Ambon, maka Gowa akhirnya
menolak perjanjian itu. Tanggal 20 November 1655 utusan Gubernur Jenderal Joan
Maetsyuiker untuk sekian kalinya mencoba lagi menawarkan perdamaian dengan
mengutus van Wesenhager, tetapi Gowa menolaknya karena tuntutannya merugikan
Gowa. Demikian berbagai siasat perdamaian yang diajukan Belanda selalu gagal
sehingga permusuhan tidak terelakkan, sehingga terjadi pertempuran poun terus
bergolak antara Gowa dengan Belanda, mulai dari perairan Maluku, Banda sampai
Makassar.
Karena
Belanda putus asa menghadapi kegigihan rakyat Gowa dibawa pimpinan Sultan
Hasanuddin, maka pada bulan Oktober 1666 Belanda menggerakkan armada
persenjataannya yang paling kuat dibawa pimpinan Cornelis Speelman ke perairan
Indonesia bagian timur, guna meruntuhkan kerajaan Gowa dan pengaruh
hegemoninya. Dengan dibantu pasukan Bone dan pengikut Aruppalakka, dan pasukan
Ambon dibawa pimpinan Kapten Yonker dalam perang melawan Gowa. Posisi Gowa saat
itu, tidak hanya berperang melawan bangsa asing tetapi juga bangsanya sendiri.
Tahun
1667 perang besarpun bergolak antara Pasukan Gowa dengan Belanda. Karena
kekuatan tidak seimbang, menyebabkan benteng milik Gowa satu persatu direbut
Belanda dan sekutunya, seperti benteng galesong, Barombong melalui pertempuran
sengit yang banyak menelan korban kedua belah pihak.
Melihat
Gowa dalam posisi yang kurang menguntungkan, Speelman mengajukan tawaran
perundingan. Tawaran tersebut diterima Sultan dengan pertimbangan, bukan karena
takut berperang tetapi demi menghindari bertambahnya pertumpahan darah yang
lebih banyak di kalangan orang-orang Makassar maupun sesama bangsa sendiri.
Atas pertimbangan itu, Sultan Hasanuddin terpaksa menerima perdamaian dengan
Belanda dengan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667.
Dengan
perjanjian Bongaya, Rakyat Gowa sangat dirugikan maka perangpun kembali
berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemar, sehingga menambah bala
bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat Juni 1669 yang cukup banyak
menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng
pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda
sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa
mempertahankannya dengan gagah berani. Perkembangan selanjutnya setelah Sultan
Hasanuddin, Raja-raja Gowa masih terus melakukan perlawanan dengan Belanda. Hal
itu dibuktikan dengan gigihnya perlawanan Raja Gowa XVIII Sultan Muhammad Ali
(Putra Sultan Hasanuddin) yang gugur dalam tahanan Belanda di Batavia (Jakarta)
pada tahun 1680. Raja Gowa XXVI Batara Gowa II setelah tertangkap dan
diasingkan ke Sailon. Tidak terhitung putra-putri terbaik Gowa lainnya telah
berjuan dan gugur di medan perang membela tanah airnya.
H.
Masa Kemunduran
dan Keruntuhan
Peperangan
demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa,
membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh
terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama
setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang
sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Akibat
perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian
itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri
yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Aru Palakka menaklukkan
hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka
banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda
mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar,
sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi
penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin
lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut
Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat
politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah
mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kale
Gowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri
untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin
telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari
cengkraman penjajah. Sebagai tanda jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin,
Pemerintah Republik Indonesia atas SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10
November 1973 menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional.
Demikian
Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa pertama,
Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya pada abad XVIII
kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun berjuang menghadapi
penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun mengalami transisi di masa
Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian Republik
Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah bentuk dari kerajaan menjadi daerah
tingkat II Otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat
dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar