Pages

Selasa, 27 Mei 2014

Kerajaan Sriwijaya



Kerajaan  Sriwijaya  adalah …
Kerajaan maritim Hindu Budha yang cukup besar.
Salah satu kerajaan saingan Kerajaan Majapahit.
Keberadaan awal  diketahui  lewat  tulisan  dari  saudagar  /  biksu  dari  cina  pada  tahun  671  bernama  I-Tsing

Wilayah.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh di luar Indonesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Musi di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar pada zamannya.

Sistem  Pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi social. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
 Kadātuan dapat bermakna kawasan datuk, tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan emas dan hasil cukai sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim).
Raja yg terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Raja Balaputradewa. Hal tersebut diterangkan dalam prasasti Nalanda. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat  dengan kerajaan Benggala. Raja dari kerajaan Benggala menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi pelajar dan mahapesertadidik yg sedang belajar di Nalanda yang dibiayai oleh Balaputradewa.
Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha dan bahsa Sansekerta bagi generasi mudanya.

Sistem  Ekonomi
Pada  mulanya  penduduk  sriwijaya  hidup  dengan  bertani,  akan  tetapi  karena  sriwijaya  terletak  di  tepi  sungai  Musi  dekat  pantai,  maka  perdagangan  menjadi  cepat  berkembang.  Perkembangan  perdgangan  didukung  oleh  keadaan  dan  letak  sriwijaya  yang  strategis.  Sriwijaya  terletak  di  persimpangan  jalan  dalam  perdagangan  internasional.

Arsitektur
Peninggalan arsitektur dari masa kerajaan Sriwijaya sangat beragam,dilihat dari peninggalan candi-candi yang tersebar di Jawa dan Sumatra dan di tepian Sungai Musi.
Candi di Jawa dibuat dengan batu-batu kali atau andesit sementara
Candi-candi di Sumatra dibuat dengan batu bata merah.
Bangunan-bangunan rumah di tepian Sungai Musi pun menarik perhatian karena sebagian mewarisi seni arsitektur dari masa Sriwijaya

Candi  Muara  Takus
Salah satu candi peninggalan kerajaan Sriwijaya yang terkenal adalah Candi Muara Takus. Bentuk arsitektur bangunan stupa ini  unik karena arsitektur bangunan stupa ini tidak ditemukan di bagian lain di Indonesia. Bentuk stupa candi ini menyerupai stupa di Myanmar, Vietnam, Srilanka dana India pada zaman Ashoka.  Candi Muara Takus merupakan candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia.

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi 
kompleks candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.  Candi ini terbuat dari bahan bata .  Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi).  Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Jabung yang ada Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Tradisi dan upacara.
Upacara Pernikahan
Upacara Betobo adalah kegiatan bergotong royong dalam mengerjakan sawah, ladang, dan sebagainya.
Upacara Menyemah Laut adalah upacara untuk melestarikan laut dan isinya, agar mendatangkan manfaat bagi manusia.
Upacara Menumbai adalah upacara untuk mengambil madu lebah di pohon Sialang.


Seni pertunjukan
Seni pertunjukkan yang terinspirasi dari masa Sriwijaya adalah gending Sriwijaya. Gending Sriwijaya ini dimainkan guna untuk mengiringi tari Gending Sriwijaya. Baik tarian ataupun nyanyiannya menggambarkan kejayaan dan keagungan kerajaan Sriwijaya pada masa itu.  Tari ini dipentaskan guna untuk menyambut tamu-tamu istimewa yang berkunjung ke Palembang.

Kebudayaan  Logam
Salah satu kebudayaan logam masa kerajaan Sriwijaya yang masih ada hingga sekarang adalah senjata tradisionalnya yaitu Tombak Trisula dan Skin.  Tombak Trisuula mirip dengan senjata trisula yang dipegang oleh Dewa Siwa.  Skin ini adalah senjata tusuk yang bentuknya meyerupai parang yang agak melengkung dan dapat digenggam. Bentuknya meruncing dengan sisi tajam pada salah satu bilahnya.

Gerabah,  Rempah  dan  Aksara
Gerabah peninggalan masa kerajaan Sriwijaya ditemukan dalam bentuk tutup, kendi, periuk dan tembikar jenis fine paste ware
Rempah yang diekspor pada masa kerajaan Sriwijaya adalah lada, cengkeh, pala, kardamunggu, dan kapulaga. Sementara makanan yang kemungkinan besar berkembang pada masa tersebut adalah pindang ikan.
Mayoritas penduduk berbicara dengan bahasa melayu karena bahasa melayu pada masa itu menjadi lingua franca dalam perdagangan

Busana  Daerah
Kain Songket adalah salah satu kain yang diduga merupakan warisan tradisi dari zaman kerajaan Sriwijaya.  Hal ini diduga karena pusat kerajinan songket paling masyur di Indoneisa terletak di Palembang.  Songket ini ditenun dengan tangan dengan benang emas dan perak dan pada umumnya, kain ini digunakan pada acara resmi.

Prasasti Talang Tuwo
ditemukan oleh Louis Constant Westenenk  pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang.  Isi prasasti Talang Tuo adalah berupa doa-doa dedikasi, dimana hingga kini, doa-doa demikian masih dijalankan dan diyakini. Prasasti ini memperkuat bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari cara pandang Mahayana pada masa tersebut, dengan ditemukannya kata-kata seperti bodhicitta, mahasattva, vajrasarira, danannuttarabhisamyaksamvodhi, dimana istilah-istilah bahasa Sanskerta tersebut memang digunakan secara umum dalam ajaran Mahayana.

Prasasti Telaga Batu 1
ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional .  Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.  Isi  prasasti  telaga  batu  1 tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah dātu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.
 
Prasasti  Kota  Kapur 
Prasasti ini ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892.  Isi  Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya.
 
Prasasti Hujung Langit,
yang dikenal juga dengan nama Prasasti Bawang, adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung, Indonesia. Aksara yang digunakan di prasasti ini adalah Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Isi prasasti diperkirakan merupakan pemberian tanah sima.
 
 Prasasti Palas Pasemah,
prasasti pada batu, ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuna sebanyak 13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi.  Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.

 Prasasti Karang Brahi
sebuah prasasti dari zaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1904 oleh Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak pada Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.  Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

Prasasti Kedukan Bukit
ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir,  Palembang,  Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia.  Isinya  Menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengada- kan perjalanan suci (sidhayarta) dengan perahu dan membawa 2.000 orang. Dalam perjalanan tersebut, ia berhasil menaklukkan beberapa daerah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar