Kerajaan
Sriwijaya adalah …
Kerajaan maritim Hindu Budha yang cukup
besar.
Salah satu kerajaan saingan Kerajaan
Majapahit.
Keberadaan awal diketahui
lewat tulisan dari
saudagar / biksu
dari cina pada
tahun 671 bernama
I-Tsing
Wilayah.
Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di
wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh
di luar Indonesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat
strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada
saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan
antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Musi di Sumatra
Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang mencakup Selat Malaka,
Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan
mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah
Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan
Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar pada zamannya.
Sistem Pemerintahan
Masyarakat
Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi social. Pembentukan satu
negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat
dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan,
vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan datuk,
tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan emas dan hasil cukai sebagai kawasan yang
mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap
sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara
untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini
merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda
merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan
jalan khusus yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa
Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti
Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan
kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan
kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun,
jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra
raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan
pasukan), dan dandanayaka (hakim).
Raja yg terkenal dari Kerajaan Sriwijaya
adalah Raja Balaputradewa. Hal tersebut diterangkan dalam prasasti Nalanda.
Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat
dengan kerajaan Benggala. Raja dari kerajaan Benggala menghadiahkan
sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi pelajar
dan mahapesertadidik yg sedang belajar di Nalanda yang dibiayai oleh
Balaputradewa.
Hal tersebut menandakan Sriwijaya
memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha dan bahsa
Sansekerta bagi generasi mudanya.
Sistem Ekonomi
Pada mulanya
penduduk sriwijaya hidup
dengan bertani, akan
tetapi karena sriwijaya
terletak di tepi
sungai Musi dekat
pantai, maka perdagangan
menjadi cepat berkembang.
Perkembangan perdgangan didukung
oleh keadaan dan
letak sriwijaya yang
strategis. Sriwijaya terletak
di persimpangan jalan
dalam perdagangan internasional.
Arsitektur
Peninggalan arsitektur dari masa
kerajaan Sriwijaya sangat beragam,dilihat dari peninggalan candi-candi yang
tersebar di Jawa dan Sumatra dan di tepian Sungai Musi.
Candi di Jawa dibuat dengan batu-batu
kali atau andesit sementara
Candi-candi di Sumatra dibuat dengan
batu bata merah.
Bangunan-bangunan rumah di tepian Sungai
Musi pun menarik perhatian karena sebagian mewarisi seni arsitektur dari masa
Sriwijaya
Candi Muara
Takus
Salah satu candi
peninggalan kerajaan Sriwijaya yang terkenal adalah Candi Muara Takus. Bentuk
arsitektur bangunan stupa ini unik
karena arsitektur bangunan stupa ini tidak ditemukan di bagian lain di
Indonesia. Bentuk stupa candi ini menyerupai stupa di Myanmar, Vietnam,
Srilanka dana India pada zaman Ashoka. Candi Muara Takus merupakan
candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia.
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi
Portibi
kompleks
candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang
Bolak, Portibi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Candi ini terbuat dari bahan bata . Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa
tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama Portibi dalam bahasa Batak
berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa
sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi). Arsitektur
bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Jabung yang ada Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur.
Tradisi dan upacara.
Upacara Pernikahan
Upacara Betobo adalah kegiatan bergotong
royong dalam mengerjakan sawah, ladang, dan sebagainya.
Upacara Menyemah Laut adalah upacara
untuk melestarikan laut dan isinya, agar mendatangkan manfaat bagi manusia.
Upacara Menumbai adalah upacara untuk
mengambil madu lebah di pohon Sialang.
Seni
pertunjukan
Seni pertunjukkan yang terinspirasi dari
masa Sriwijaya adalah gending Sriwijaya. Gending Sriwijaya ini dimainkan guna
untuk mengiringi tari Gending Sriwijaya. Baik tarian ataupun nyanyiannya
menggambarkan kejayaan dan keagungan kerajaan Sriwijaya pada masa itu. Tari ini dipentaskan guna untuk menyambut
tamu-tamu istimewa yang berkunjung ke Palembang.
Kebudayaan Logam
Salah satu kebudayaan logam masa
kerajaan Sriwijaya yang masih ada hingga sekarang adalah senjata tradisionalnya
yaitu Tombak Trisula dan Skin. Tombak
Trisuula mirip dengan senjata trisula yang dipegang oleh Dewa Siwa. Skin ini adalah senjata tusuk yang bentuknya
meyerupai parang yang agak melengkung dan dapat digenggam. Bentuknya meruncing
dengan sisi tajam pada salah satu bilahnya.
Gerabah,
Rempah dan Aksara
Gerabah peninggalan masa kerajaan
Sriwijaya ditemukan dalam bentuk tutup, kendi, periuk dan tembikar jenis fine
paste ware
Rempah yang diekspor pada masa kerajaan
Sriwijaya adalah lada, cengkeh, pala, kardamunggu, dan kapulaga. Sementara
makanan yang kemungkinan besar berkembang pada masa tersebut adalah pindang
ikan.
Mayoritas penduduk berbicara dengan
bahasa melayu karena bahasa melayu pada masa itu menjadi lingua franca dalam
perdagangan
Busana Daerah
Kain Songket adalah salah satu kain yang
diduga merupakan warisan tradisi dari zaman kerajaan Sriwijaya. Hal ini diduga karena pusat kerajinan songket
paling masyur di Indoneisa terletak di Palembang. Songket ini ditenun dengan tangan dengan
benang emas dan perak dan pada umumnya, kain ini digunakan pada acara resmi.
Prasasti Talang Tuwo
ditemukan
oleh Louis Constant Westenenk pada
tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang. Isi prasasti Talang Tuo adalah berupa doa-doa
dedikasi, dimana hingga kini, doa-doa demikian masih dijalankan dan diyakini.
Prasasti ini memperkuat bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari cara pandang
Mahayana pada masa tersebut, dengan ditemukannya kata-kata seperti bodhicitta,
mahasattva, vajrasarira, danannuttarabhisamyaksamvodhi, dimana istilah-istilah
bahasa Sanskerta tersebut memang digunakan secara umum dalam ajaran Mahayana.
Prasasti
Telaga Batu 1
ditemukan di sekitar kolam Telaga
Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir, Kec. Ilir Timur II, Kota
Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional . Di sekitar lokasi
penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi
tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun sebelumnya
ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti
Telaga Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional,
Jakarta. Isi prasasti
telaga batu 1 tentang kutukan terhadap siapa saja yang
melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah dātu.
Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini merupakan
orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada
kedatuan Sriwijaya sehingga perlu disumpah.
Prasasti Kota
Kapur
Prasasti ini ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu
sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti
ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta
merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini
ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892. Isi Prasasti
Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat
oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya.
Prasasti Hujung Langit,
yang
dikenal juga dengan nama Prasasti Bawang, adalah sebuah prasasti batu yang
ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung, Indonesia. Aksara yang digunakan di
prasasti ini adalah Pallawa dengan bahasa Melayu Kuno. Isi prasasti
diperkirakan merupakan pemberian tanah sima.
Prasasti Palas Pasemah,
prasasti
pada batu, ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung.
Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuna sebanyak 13 baris.
Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk aksaranya diperkirakan
prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang
tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Prasasti Karang Brahi
sebuah
prasasti dari zaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1904 oleh
Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak pada
Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin,
Jambi. Isinya tentang kutukan bagi orang
yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang berbuat jahat.
Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota
Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Prasasti
Kedukan Bukit
ditemukan oleh M. Batenburg pada
tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang,
Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi.
Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara
Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional Indonesia. Isinya Menyatakan bahwa Dapunta Hyang mengada- kan
perjalanan suci (sidhayarta) dengan perahu dan membawa 2.000 orang. Dalam
perjalanan tersebut, ia berhasil menaklukkan beberapa daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar