Pagi ini
aku bergegas menuju
kantor baruku. Seminggu
lalu aku baru
saja diterima bekerja
di sebuah kantor
swasta. Meskipun hanya
lulusan SMA, tetapi
manajer HRD kantor
itu menyukai keahlianku.
Namaku Rike, Amanda
Rike Ekiyanto. Gadis
berkulit sawo matang,
berambut lurus dan
bermata bulat.
Sesampainya di
kantor, ada seorang
perempuan yang mengantarkanku ke
ruangan tempat meja
kerjaku berada. Aku
begitu canggung memasuki
ruangan itu. Disana
banyak orang yang
sudah sibuk bekerja
dengan computer mereka
masing-masing dan hanya
ada satu meja
yang kosong.
“ini meja
kerja anda. Silahkan
anda mulai bekerja.
Selamat bekerja.”, perempuan
itu meninggalkan aku
sendiri.
Aku mulai
menduduki kursiku, dan
mulai menghidupkan computer
didepanku. “oke, jangan
gugup Rike. Jangan
gugup. Kita mulai
pelan-pelan.”, batinku berbicara.
Aku mulai mengerjakan
apa yang harus
aku kerjakan. Aku
mengerjakannya dengan hati-hati.
Sampai-sampai mengetikpun tanganku
bergetar.
“kamu pegawai
baru disini ya?”,
sapa seseorang laki-laki
yang ada di
belakangku.
“i..iya
pak”, jawabku gugup.
“tidak usah
gugup begitu.”
“iya pak.
Saya baru pertama
terjun di dunia
kerja. Jadi saya
sedikit takut.”
“tidak usah
takut. Santai saja
melakukan pekerjaan. Kalau
kamu takut, pekerjaanmu
tidak akan selesai.
Nanti juga terbiasa.
Orang-orang disini ramah
kok. Selamat bekerja
sama sebagai tim
ya.”
Hari pertama
bekerja sungguh melelahkan.
Meskipun kerjaanku tidak
terlalu banyak hari
ini. maklum saja,
aku baru bekerja
di kantor ini.
mungkin besok-besok sudah
mulai menumpuk. atau
sudah harus lembur
sampai malam. Tetapi
lelah itu sedikit
terasa hilang saat
teringat wajah tampan
laki-laki yang menyemangatiku tadi.
Wajahnya sungguh menenangkan.
Hari demi
hari aku mulai
terbiasa dengan suasana
kantor, kerjaan kantor,
dan orang-orang yang ada
di kantor. Aku
juga sudah mempunyai
sahabat, meja kerjanya
bersebelahan denganku. Dia
Chika, Chika Anastasya
pemilik wajah terimut
di kantor ini.
dia sudah bekerja
selama setahun. Jadi
aku bisa bertanya
padanya jika aku
mempunyai kesulitan untuk
bekerja.
Dua minggu
sudah aku bekerja
di kantor ini.
hari ini aku
sedang makan siang
dengan chika di
kantin. Tiba-tiba laki-laki
itu datang mendekati
meja makan kami.
“bagaimana? Sudah
tidak takut lagi
bekerja?”, kata laki-laki
itu lalu duduk
di sampingku.
“oh,
hahaha. Saya sudah
terbiasa bekerja disini.
Lagipula jika ada
kesulitan saya bisa
bertanya pada teman
saya pak.”
“tidak usah
panggil aku dengan
sebutan pak. Aku
tidak terlalu tua
untuk panggilan itu.
Panggil saja aku
Regi.”
Wajahnya sungguh
menenangkan. Aku suka
memandang wajahnya berlama-lama.
dia masih terlihat
muda. Umurnya sepertinya
tidak jauh beda
denganku. Kami berbincang-bincang selama
waktu makan siang.
Dia sungguh orang
yang menyenangkan.
“kamu akrab
banget dengannya. Sudah
kenal sebelumnya?”, Tanya
Chika kepadaku setelah
regi pergi meninggalkan
kami berdua.
“aku kenal
sejak pertama masuk
di kantor ini.
dia yang memberiku
semangat untuk kerja.
Mengapa kamu canggung
sekali dengannya?”
“kamu tau
tidak dia itu
siapa?”
“siapa? Aku
lupa menanyakan dia
bekerja dibagian mana.”
“dia itu
Regi Bramanta. Manajer
disini. Dia adalah
anak pemilik kantor
ini. anak dari
pak Ekiyanto, Rike.”
Aku diam
kebingungan. Ternyata dia
manajer. Tapi dia
ramah dengan pegawainya
meskipun dia seorang
manajer. Dan nama
ayahnya adalah Ekiyanto.
Seperti tidak asing
bagiku dan nama
belakangku juga Ekiyanto.
Setelah sebulan
bekerja, aku mendapatkan
gaji pertamaku. Gaji
yang aku dapatkan
tidak sebesar para
pejabat-pejabat Negara, tetapi
aku senang dan
bangga dengan gaji
yang aku dapatkan
karena sesuai dengan
pekerjaan yang aku
kerjakan dan ini
cukup untuk memenuhi
biaya hidupku dengan
ibu.
Aku bergegas
pulang ke rumah
untuk memberikan gajiku
ini pada ibuku.
Aku hanya tinggal
dengan ibuku di
sebuah rumah kecil
pemberian ayah. Ayahku
telah meninggalkan aku
dan ibuku sejak
aku masih balita.
Aku sudah sedikit
lupa wajah ayahku.
Di rumah juga
tidak ada foto
ayah, maklum saja
zaman dulu tidak
banyak orang yang
suka foto.
Ayah meninggalkan
aku dan ibuku
karena dia lebih
memilih perempuan lain.
Tetapi ibu selalu
berkata “Ayahmu itu
laki-laki yang baik”.
Aku tidak pernah
mengerti ucapan itu.
Bukankah meninggalkan anak
dan istrinya merupakan
kejahatan?
Entah sejak
kapan, semakin hari
aku dan Regi
menjadi semakin dekat.
Hingga suatu hari
dia memintaku dengan
permintaan yang tidak
pernah kuduga sebelumnya.
“apakah kamu
bersedia menikah denganku?”
Saat itu
aku mulai mengenalkan
regi pada ibuku.
Ibuku juga sangat
menyukai regi. Dan
ibuku juga merestui
aku untuk menikah
dengan regi.
Akhirnya malam
itu datang juga.
Malam dimana Regi
dan keluarganya akan
datang ke rumah
untuk melamarku. Rencana
yang sudah dipersiapkan
dengan matang jauh
sebelumnya. Aku bergegas
berdandan agar terlihat
secantik mungkin untuk
menyambut mereka.
Regi dan
keluarganya sudah sampai
di depan rumahku.
Aku menyambut mereka
dengan hangat. Dan
mempersilahkan mereka masuk.
Ibu regi ternyata
cacat dan dia
duduk di kursi
roda. Wajah ayah
Regi begitu berbeda
dengannya. Wajahnya seperti
tidak asing bagiku.
Beberapa menit kemudian,
ibuku keluar membawa
minuman. Tiba-tiba ibuku
berdiri kaku tanpa
bergerak. Bibirnya bergetar
dan matanya basah.
Dan harapanku hancur
seketika.
“Dia ayahmu
Rike”, ucap ibuku
yang mengagetkan semuanya.
“Ha? dia ayahku?
Yang dulu meninggalkan
kita demi perempuan
lain? Pantas saja
namanya sama dengan
nama belakangku. Lalu
Regi? Kita bersaudara?”,
tanyaku dengan nada
melemah.
“Rike? Maafkan
ayah. Bukan maksud
ayah meninggalkan kamu
dengan ibumu. Ini
juga keputusan ibumu.”,
ayah berusaha menjelaskan.
Tetapi aku tetap
saja terus menangis
tidak bisa menerima
kenyataan ini.
“dulu sewaktu
kamu masih kecil,
suami dari anak
teman baik kakek
kamu meninggal karena
kecelakaan saat akan
menjemput ibu kamu
yang akan melahirkanmu.
Dia Bramanta. Dia
meninggalkan seorang istri
dan seorang anak,
Regi. Sewaktu itu
kondisi ekonomi mereka
terpuruk. Dan ayah
sangat merasa bersalah
atas meninggalnya ayah
Regi, karena ayah
yang menyuruhnya. Jadi
ayah putuskan untuk
menikahi ibu Regi
karena ibunya tidak
bisa berjalan dan
tidak ada yang
bisa menghidupi mereka.”,
lanjut ayah menjelaskan.
“tetapi dulu
ibu tidak ingin
tinggal serumah dengan
mereka. Jadi ibu
putuskan untuk berpisah
dengan ayahmu. Ini
bukan salah ayahmu
sepenuhnya, Rike. Maafkan
ibu tidak menceritakan
sebelumnya.”
“lalu aku
dan Regi tidak
bersaudara?”
“tidak Rike.
Namaku Regi Bramanta.
Dan aku bukan
anak kandung ayah
Ekiyanto.”
Malam itu
adalah malam yang
menyedihkan, menegangkan dan
juga membahagiakan untukku.
Aku bisa bertemu
lagi dengan ayahku
dan tau hal
yang selama ini
disembunyikan ibuku. Dan
juga aku bisa
menikah dengan Regi.
Kenyataan kadang terlalu
sakit diterima tetapi
tidak setelah diakui.
Semoga kisahku seperti
yang ada di
dongeng-dongeng. Hidup bahagia
selamanya.
-------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar